eCWbXBoqKVlcyXUNIzJr7wbcnJRa7fysuT0ds4TB
Bookmark

Berkenalan dengan Buah Kerben, Berry Asli Indonesia dengan 5 Fakta Mengejutkan Tentangnya

Berkenalan dengan Buah Kerben, Berry Asli Indonesia dengan 5 Fakta Mengejutkan Tentangnya - Di antara begitu banyaknya buah lokal Indonesia, ada satu buah sejenis berry yang belum banyak dikenal orang. Namanya kerben. Buah ini tidak langka, hanya saja tidak terlalu mudah ditemukan. Kerben banyak didapatkan di Desa Suko Pangkat, Kecamatan Gunung Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi. Buah ini tumbuh sangat subur di sana, terutama di ladang penduduk. 

Sukmareni, Koordinator Divisi Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menjelaskan, ladang penduduk tersebut sebagian besar berada di kawasan hutan. Untuk legalitas masyarakat dalam mengelola ladang yang sangat berdekatan dengan pemukiman itu, sejak 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan SK Perhutanan Sosial untuk empat kelompok pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu Sungai Kuning, Gunung Pua, Sungai Batu Lebar, dan Gunung Bujang. Dengan adanya legalitas ini, masyarakat dapat mengelola hutan dengan mempertahankan kearifan lokal mereka. 



“Masyarakat Desa Suko Pangkat mengelola hutan tersebut dengan menerapkan kearifan lokal, yaitu menggunakan sistem agroforestry. Dengan sistem agroforestry, masyarakat tidak membuka hutan sebagai lahan terbuka. Mereka menanam kopi dan kayu manis, yang masuk dalam tanaman kehutanan,” kata Reni. 

Ia menjelaskan, fungsi hutan tersebut mirip dengan hutan alam dan tersambung dengan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Dengan begitu, pengelolaannya bernilai konservasi. 

Baca juga:D'Highland Selo Boyolali, Cafe Instagramable Suguhkan Pemandangan Alam

“Inilah yang membuat kami terus berupaya mencari peluang ekonomi baru bagi masyarakat Suko Pangkat, agar tekanan terhadap hutan berkurang. Hingga kemudian muncul gagasan untuk membuat selai kerben. Selai kerben dan hutan yang dikelola dengan baik, akan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat Suko Pangkat dan sekitarnya.” 

Menyambut Hari Pangan Sedunia yang dirayakan setiap 16 Oktober, yuk, simak fakta tentang kerben yang tampilannya sangat menarik ini.

1. Tumbuh liar di kawasan pegunungan



Tak perlu perawatan khusus, tanaman kerben tumbuh secara liar di kawasan pegunungan, tepatnya di ketinggian lebih dari 1300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Reni menyebutkan, sebenarnya kerben tak hanya bisa didapatkan di Jambi. Di Lembang, Bandung, pun ada, dan biasanya dipasarkan bersama dengan stroberi. 

Tanamannya berupa perdu dengan banyak duri di bagian batangnya, berbeda dari tanaman stroberi yang tidak memiliki batang kokoh. Karena memang tumbuh liar, tanaman ini tidak memerlukan perawatan khusus. 

Sering kali kerben ditemukan di pekarangan rumah warga. Ketika buahnya tidak dimakan karena begitu berlimpah, maka saat buahnya jatuh dari pohon, bijinya akan tumbuh menjadi bibit baru, sehingga kebun belukar kerben menjadi rimbun. Menariknya, buah ini tidak mengenal musim. Tanamannya bisa berbuah sepanjang tahun. 

Untuk dibuat selai, awalnya buah-buah kerben ini diambil dari tanaman liar. Namun, ketika kapasitas produksi selai mulai meningkat, tanaman kerben ini mulai dibudidayakan di lahan-lahan telantar.

Baca juga:Soto Mie Bogor Danukusuman, Enak dan Satu-Satunya di Solo!

2. Antara stroberi dan raspberry

Kalau melihat buahnya, kerben seperti persilangan antara stroberi dan raspberry. Bentuknya seperti stroberi, tapi warnanya merah menyala seperti raspberry. 

“Hanya saja, teksturnya lebih lembut daripada stroberi. Ukurannya juga lebih kecil. Buah yang sudah matang sempurna dengan warna merah menyala rasanya manis dengan sedikit asam. Ada bagian lembut berwarna putih di bagian tengah buah. Ini yang tidak ditemukan pada stroberi,” kata Reni. 

Ia bercerita, buah ini biasa dijadikan camilan bagi anak-anak desa. Sepulang sekolah mereka kerap mengumpulkan kerben, lalu merajutnya dengan rumput. Siapa yang rangkaian kerben paling panjang, dia yang menang. Setelah itu, baru mereka santap ramai-ramai. Petani juga sering mengonsumsi buah kerben segar. Sepulang dari ladang, atau ketika dalam perjalanan pulang-pergi ke ladang, mereka memetik dan mengonsumsi buah ini. 

3. Selai tanpa pengawet kimia



Kerben mulai banyak dimanfaatkan oleh penduduk desa sebagai bahan pembuatan selai. Ini pun melewati masa percobaan dahulu, sebelum dapat menghasilkan selai yang enak sekaligus menarik dipandang. 

Baca juga:Teler Akibat Pedasnya Mie Ngomyang SFA Steak Karanganyar

Reni bercerita, awalnya selai dibuat dengan menghancurkan kerben dan mencampurkan gula. Tapi, selaput putih di bagian tengah buah ternyata membuat selai jadi tidak cantik. Mencoba memperbaiki penampilannya, bagian tengah buah diambil dahulu, sebelum diolah. Selanjutnya, mereka melakukan uji organoleptik (uji rasa dan uji aroma) dengan sejumlah warga. Ketika sudah mendapatkan komposisi yang tepat, pengukuran dan cara pembuatan itu dijadikan patokan produksi. 

Meski tanpa pengawet kimia sama sekali, jika dikemas dengan wadah kedap udara, selai kerben bisa disimpan selama dua minggu. Dengan syarat, kemasannya tidak dibuka, sehingga tidak terkontaminasi oleh bakteri. 

“Kami hanya menggunakan tambahan gula, garam, dan perasan lemon sebagai penguat rasa. Bahan-bahan ini juga berperan sebagai pengawet alami,” kata Reni. 

4. Buah yang serba guna

Fifin Liefang, finalis kompetisi memasak Masterchef Indonesia musim keenam, menyebutkan, selain disantap segar begitu saja, berry umumnya juga cocok dibuat jus dan berbagai dessert. Misalnya, dijadikan compote untuk melapisi bagian dalam layer cake. Berry juga bisa dijadikan topping untuk sejumlah makanan barat, seperti pancake dan waffle.

Selain untuk hidangan penutup, berry bisa dimanfaatkan untuk hidangan savoury atau gurih. Rasanya yang asam manis sangat cocok untuk disandingkan dengan hidangan laut dan daging. “Misalnya, sebagai saus untuk disantap dengan steak sapi atau salmon,” kata Fifin, memberi tip. 

Fifin memberi resep simpel membuat saus. Kerben dihancurkan, ditambahkan gula, garam, merica hitam, serta berbagai rempah khas Indonesia, seperti cengkeh, bunga lawang, dan kapulaga. Kerben yang sudah dibumbui itu dipanaskan di kompor, tanpa perlu ditambahkan air. Jadilah saus kerben yang sedap. 

Ia juga memberikan resep lain yang menggunakan bahan asli Indonesia, yaitu nila bakar bumbu kerben. Cara membuat bumbunya hampir sama seperti membuat saus kerben, tapi tidak dipanaskan. Kerben hanya perlu dihaluskan dengan cabai, dan ditambahkan bumbu seperti bumbu saus. Campuran kerben dan bumbu tersebut kemudian dilumurkan pada ikan segar, lalu dibakar. Atau, untuk mendapatkan tekstur crispy, ikan segar digoreng dahulu setelah dilumuri bumbu, baru kemudian dibakar. Ikan yang sudah matang akan menampilkan sedikit kilau karena gula yang menjadi karamel.

Baca juga:Enaknya Mie Gacoan Solo Yang Selalu Ramai Pembeli

5. Punya nilai ekonomi dan ekologi

Produksi selai di Desa Suko Pangkat digawangi oleh ibu-ibu muda yang tergabung dalam KUPS Suko Suka. Selai ini mampu memberi tambahan penghasilan kepada keluarga pengelola hutan di Suko Pangkat. 

“Sumber ekonomi alternatif ini juga pada akhirnya membantu mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan,” kata Reni. 

Selama ini selai dengan label Suko Selai tersebut dipasarkan di sekitar Jambi dan pasar-pasar khusus, misalnya pameran produk kehutanan. Tampilannya cantik, dikemas dengan botol kaca yang ramah lingkungan. 

Reni bercerita, “Sambutan pasar cukup baik. Hal ini terlihat dari adanya permintaan produk setiap minggu. Namun, sejauh ini selai tersebut belum dipasarkan secara online, sehingga belum menjangkau pasar yang lebih luas.” 

Inilah saatnya #TimeforActionIndonesia. #MudaMudiBumi bisa turun tangan dan ikut membantu agar selai ini dikenal luas. Caranya, pesan selai kerben ini secara langsung dan promosikan kepada banyak orang melalui media sosial. “Jika selai banyak terjual, maka masyarakat akan semakin fokus pada usaha ini. Dengan begitu, pembukaan hutan baru untuk perladangan bisa diminimalkan,” kata Reni. 

Tentang KKI Warsi:

Warsi lembaga non pemerintah hadir atas kesamaan pandangan sejumlah aktivis lintas aliran dan genre, pada tanggal 27 Desember 1991 merespon fakta pengelolaan sumber daya alam saat itu.  Era 1990-an, pengelolaan hutan terpusat di Jakarta, tercatat 572 perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang menguasai 64 juta hektar hutan Indonesia, yang hanya dikuasai 20-an konglomerat saja.  

Di sisi lain, masyarakat miskin waktu itu mencapai 27,2 juta jiwa atau 15,1 persen dari jumlah penduduk. Ada ketimpangan dalam penguasaan, akses dan kesempatan untuk pengelolaan  kawasan hutan.  Uniknya masyarakat di dalam dan sekitar hutan meskipun tanpa pengakuan negara telah memperlakukan hutan sebagai bagian penting kehidupan, baik secara sosial, ekonomi, kultural bahkan religi, sesuai dengan kearifan yang diwariskan nenek moyang.

Kondisi inilah yang menghimpun para pendiri Warsi itu untuk membentuk wadah bersama guna mengencangkan perjuangan untuk mengupayakan terciptanya pembangunan berkelanjutan  yang mampu memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup masa kini tanpa mengancam pemenuhan kebutuhan hidup generasi berikutnya. Dengan motto konservasi bersama masyarakat.

Anda mungkin suka:Pengalaman Menginap di @K Hotel Kaliurang Jogja, Rooftop-nya Keren!
0

Posting Komentar