eCWbXBoqKVlcyXUNIzJr7wbcnJRa7fysuT0ds4TB
Bookmark

Bencana Kian Brutal, Orang Muda Berseru: Hentikan Solusi Palsu Krisis Iklim Sekarang!

Bencana Kian Brutal, Orang Muda Berseru: Hentikan Solusi Palsu Krisis Iklim Sekarang! - Air bah yang merangsek masuk ke rumah warga, jalan desa yang hilang tersapu longsor, hingga pesisir yang perlahan tenggelam—ini bukan lagi cerita masa depan. Di banyak wilayah Indonesia, krisis iklim sudah menjadi keseharian. Ribuan keluarga hidup dalam kecemasan yang sama: bagaimana jika tanah yang selama ini menopang hidup mereka, suatu hari benar-benar lenyap?

Di tengah situasi yang makin getir ini, orang muda Indonesia mulai bersuara lebih lantang. Mereka melihat pola yang berulang: bencana semakin parah, tetapi solusi yang ditawarkan justru melenceng dari akar masalah. Karena itu, penolakan terhadap false solutions atau solusi palsu dalam penanganan krisis iklim kini menguat.

Bencana Kian Brutal, Orang Muda Berseru: Hentikan Solusi Palsu Krisis Iklim Sekarang!


“Solusi palsu itu distraksi teknokratis. Kelihatannya canggih, tapi memberi ruang bagi korporasi untuk tetap merusak hutan dan menghasilkan emisi,” ujar Fathan Mubina, analis GIS dari Trend Asia.

Ketika Solusi Hanya Mengganti Narasi

Istilah false solutions merujuk pada berbagai “jalan pintas” yang tampak menjanjikan. Di atas kertas, semuanya terlihat rapi: ada teknologi baru, ada pasar karbon, ada janji penurunan emisi. Namun di lapangan, banjir tetap datang, udara tetap kotor, dan desa-desa tetap tenggelam.

Baca juga:Review Menginap di Hotel Horison Nindya Semarang

Perusahaan kerap mengklaim operasinya kini “lebih hijau” berkat teknologi tertentu. Grafik dipamerkan, jargon teknis ditebarkan. Tapi realitasnya, polusi tetap berjalan dan industri fosil terus hidup, hanya dengan kemasan baru.

Fathan mencontohkan berbagai skema seperti carbon market, debt swap, Carbon Capture and Storage (CCS), hingga Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Menurutnya, pendekatan ini tidak menyentuh kenyataan pahit di pesisir utara Jawa—Demak, Jepara, Pekalongan, Semarang, sampai Cirebon—yang dilanda banjir rob, intrusi air laut, dan amblesnya tanah. Dampaknya nyata: ratusan hektare lahan pertanian hilang, ribuan keluarga terpaksa direlokasi.

Masalahnya, hutan dan ruang hidup masyarakat sering diperlakukan sebagai “aset” untuk menutupi emisi, sementara kerusakan di lapangan terus berlangsung.

“Kalau bicara transisi berkeadilan, langkah pertama adalah menghentikan pembangunan ekstraktif. PLTU baru, smelter yang ditopang PLTU captive, dan perluasan tambang justru mengunci kita pada energi fosil. Itu bukan solusi,” tegas Fathan.

Generasi Muda Menuntut Penurunan Emisi Nyata

Nada serupa datang dari Ginanjar Ariyasuta, Koordinator Climate Rangers Indonesia. Baginya, krisis iklim adalah isu antargenerasi—dan generasi muda tak bisa lagi menerima lambannya aksi.

“Kita sedang krisis. Yang dibutuhkan adalah penurunan emisi secara cepat, bukan solusi palsu yang memindahkan beban ke generasi berikutnya,” ujarnya. Ia menilai solusi berbasis pasar dan teknologi memang terdengar “seksi”, tapi sering gagal menurunkan emisi secara signifikan.

Baca juga:Pengalaman Menginap di Hotel Satoria Jogja, Ternyata Begini...

“Jangan omon-omon. Generasi kami sudah dirugikan oleh degradasi lingkungan. Kebijakan hari ini menentukan nasib masa depan kami,” katanya lugas.

Pernyataan itu bukan sekadar luapan emosi. Ia mencerminkan kenyataan komunitas paling rentan di garis depan krisis iklim: masyarakat adat yang menjaga hutan, warga pesisir yang kehilangan rumah karena abrasi dan banjir rob, serta keluarga yang hidup berdampingan dengan PLTU.

Gerakan Kecil yang Menopang Harapan

Di berbagai daerah, suara orang muda tumbuh dari komunitas-komunitas akar rumput. Fathan menyebut kelompok seperti Asihkan Bumi di Sukabumi, KARBON di Cirebon, LPM Al Fikr di Paiton, hingga Formma di Mentawai. Mereka mungkin kecil, tapi suaranya mengakar.

Di Mentawai, Formma menolak izin baru PBPH karena bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar lahan—melainkan sumber hidup yang tak terpisahkan. Sementara Asihkan Bumi dan KARBON aktif menolak co-firing biomassa, dengan mengolah data menjadi cerita yang mudah dipahami publik.

Gerakan-gerakan ini menunjukkan satu hal: perlawanan terhadap krisis iklim tumbuh dari solidaritas komunitas, bukan dari janji kosong.

“Yang utama adalah mengorganisir diri—memperluas, menghubungkan, dan memperdalam gerakan orang muda. Hanya masyarakat yang terorganisir yang bisa melawan uang yang terorganisir,” kata Ginanjar.

Banjir yang datang tiba-tiba, rumah yang perlahan tenggelam, dan pohon-pohon yang hilang adalah alarm keras bahwa waktu kita tidak banyak. Di tengah krisis yang kian nyata, solusi palsu hanya menunda kehancuran dan memperpanjang penderitaan.

Bagi orang muda, ini bukan sekadar kritik. Ini permintaan sederhana—namun mendesak: biarkan kami mewarisi bumi yang masih bisa dihuni.

Anda mungkin suka:Belajar Sambil Bermain Games Bersama Mortgage Calculator Money Games
Posting Komentar

Posting Komentar