Saatnya Dunia Mendengar: Suara Pemuda Adat Bergema dari Nusantara ke Panggung Dunia - Selama ini, suara Pemuda Adat sering kali tenggelam dalam hiruk pikuk pembangunan dan kebijakan global. Tapi kini, situasinya berubah. Mereka mulai tampil di panggung dunia—membawa pesan bahwa masa depan bumi tak bisa dibicarakan tanpa melibatkan penjaga aslinya: Masyarakat Adat.
Dalam diskusi dan forum internasional seperti Global Youth Forum (GYF) yang digelar di Bali, semangat itu terasa kuat. Cindy Yohana dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menegaskan bahwa Pemuda Adat memegang peran vital sebagai penerus nilai dan praktik leluhur yang menjaga harmoni antara manusia dan alam.
“Kearifan lokal ini bukan sekadar warisan budaya, tapi juga solusi berkelanjutan—mulai dari pangan lokal hingga kerajinan tradisional,” ujarnya.
Nada serupa datang dari Sabba Rani Maharjan, konsultan asal Nepal dari Rights and Resources Initiatives (RRI). Ia menyebut forum seperti GYF penting karena membekali generasi muda adat agar mampu membela komunitasnya dan memimpin perubahan. Acara ini mempertemukan lebih dari 50 pemimpin muda dari 27 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam dialog antargenerasi untuk memperkuat kapasitas dan jaringan kepemimpinan.
Baca juga:Pengalaman Pertama Treatment di Ella Skincare, Pakai Plasma Darah?
Hasil-hasil forum itu tak berhenti di Bali. Mereka akan dibawa ke COP30 di Brasil—konferensi iklim terbesar dunia yang akan menentukan arah kebijakan global. Hero Aprila, Ketua BPAN, menegaskan, “Generasi muda harus berani mengambil ruang dan bersuara di forum-forum besar, bukan sekadar hadir tanpa makna.”
Tantangan di Tengah Arus Globalisasi
Meski semangatnya besar, Pemuda Adat dihadapkan pada tantangan globalisasi yang kian kompleks. Funa-ay Claver dari Asia Young Indigenous Peoples Network (AYIPN) menyoroti bagaimana pertumbuhan korporasi sering kali berujung pada pelanggaran hak atas tanah dan penggusuran. Sementara di Kongo, Elnathan Nkuli dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) menambahkan, penebangan liar dan pertambangan di tanah adat terus memicu konflik dan kerentanan sosial.
Namun, globalisasi juga membuka peluang baru: akses pendidikan, teknologi digital, dan jejaring lintas negara. Hero melihat dua sisi dari fenomena ini. “Banyak Pemuda Adat mulai kehilangan identitas, tapi di sisi lain, teknologi bisa jadi jembatan untuk memperkenalkan budaya kita ke dunia luar—cara berburu, mengambil madu, atau berkebun sebagai identitas yang membanggakan,” jelasnya.
Baca juga:Pengalaman Menginap di @K Hotel Kaliurang Jogja, Rooftop-nya Keren!
Bergerak untuk Berdaya
Salah satu langkah nyata pemberdayaan adalah pendirian sekolah adat di berbagai daerah. Menurut Hero, sekolah adat bukan sekadar tempat belajar, tapi ruang untuk memerdekakan pikiran dan tindakan. “Belajarnya bisa di hutan, di sungai, atau di pantai. Guru kita adalah Masyarakat Adat sendiri,” katanya.
Di Kongo, CEPF menjalankan program serupa untuk memberdayakan perempuan dan anak perempuan adat melalui pelatihan pengelolaan hutan dan pertanian berkelanjutan. Hasilnya, 80% peserta kini menerapkan teknik yang menekan deforestasi hingga 40%, dan beberapa koperasi lokal berhasil berdiri untuk memproduksi briket ekologis serta hasil hutan.
Sementara itu, AYIPN menggagas kampanye “Indigenous Lands in Indigenous Hands (ILIH)”, yang menyerukan agar seluruh Pemuda Adat bersatu mempertahankan sisa sumber daya alam dan menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri. Kampanye ini telah melahirkan jaringan Pemuda Adat di berbagai negara dan memperkuat kapasitas mereka sebagai pemimpin.
Cindy Yohana menegaskan bahwa BPAN terbuka untuk berkolaborasi dengan Pemuda Adat dari negara lain. “Lewat pertukaran pengalaman dan kampanye bersama, kita bisa saling belajar menjaga budaya, melindungi wilayah adat, dan menghadapi krisis global seperti perubahan iklim atau perampasan tanah.”
Pada akhirnya, suara Pemuda Adat bukan sekadar seruan dari pinggiran. Ia adalah suara yang membawa harapan—tentang bumi yang lestari, budaya yang hidup, dan masa depan yang lebih adil bagi semua.
Anda mungkin suka:Pengalaman Treatment Exosome Skin Booster di Klinik Apic Skin Solo, Sakit Tapi Nagih!
Posting Komentar