Aktivis Muda Indonesia Turun ke Hutan Amazon! Siap Guncang Dunia di COP 30 Brazil - Siapa sangka, di tengah lebatnya hutan Amazon, ada anak muda Indonesia yang ikut membangun gerakan global buat menyelamatkan bumi! 🌎
Adalah Stanislaus Demokrasi Sandyawan, atau akrab disapa Momo, Wakil Direktur Climate Rangers Jakarta, yang baru aja pulang dari hutan Mato Grosso, Brazil. Di sanalah, sekitar 80 aktivis muda dari berbagai negara tidur di hammock, makan bareng di pinggir sungai, dan berdiskusi di bawah langit Amazon — merancang strategi besar menuju Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) yang bakal digelar November nanti di Belem.
Acara ini bertajuk Co-Creation Meeting For The Campaign Alliance of Peoples For The Climate, dan jadi ajang konsolidasi lintas benua yang penuh energi, tawa, dan semangat perlawanan terhadap krisis iklim.
Baca juga:Menikmati Keindahan Pantai Mbuluk yang Asri dan Masih Sepi
Dari Hammock ke Aksi Global
“Diskusinya magis banget,” cerita Momo. “Kita ngomongin alam di alam itu sendiri. Rasanya beda, kayak benar-benar terhubung dengan apa yang sedang kita perjuangkan.”
Menariknya, Momo adalah satu dari dua peserta asal Asia — sisanya didominasi aktivis muda dari Amerika Latin seperti Meksiko, Panama, dan Ekuador. “Aku senang banget disambut hangat. Mereka solid banget dan sudah terbiasa bergerak di level nasional bahkan internasional,” katanya.
Para aktivis muda ini nggak cuma duduk manis bahas teori. Mereka menyiapkan aksi kreatif yang bakal mengguncang dunia saat COP 30 nanti.
Dari Sawit ke Kedelai, Isunya Sama: Tanah Adat yang Terancam
Buat Momo, banyak kesamaan antara perjuangan masyarakat adat di Indonesia dan Amerika Latin. “Mereka juga berjuang mempertahankan wilayah adat dari perusahaan besar. Bedanya, kalau di Indonesia lawannya sawit, di Brazil lawannya kedelai,” jelasnya.
Yang bikin kagum, Brazil sudah punya Kementerian Masyarakat Adat — sebuah pengakuan resmi negara terhadap hak-hak adat yang belum ada di Indonesia. “Ini bukti bahwa perjuangan mereka sudah diakui secara politik,” kata Momo.
Dari kesamaan nasib itu, tumbuh rasa solidaritas kuat: perjuangan masyarakat adat bukan cuma isu lokal, tapi perjuangan global.
Baca juga:Puncak Segoro, Menikmati Senja yang Eksotis di Tepi Pantai Gunung Kidul
Fokus di Pendanaan Iklim dan Keadilan Historis
Salah satu bahasan paling hangat di hutan itu adalah soal pendanaan iklim — uang besar yang seharusnya membantu komunitas di garis depan, tapi sering berhenti di level birokrasi.
“Aku kaget ternyata banyak yang belum paham cara mengakses dana itu,” ujar Momo. Dari situlah muncul dua istilah penting yang jadi bahan refleksi:
- Territorial Autonomy – hak masyarakat adat untuk mengatur wilayahnya sendiri.
- Historical Reparation – kompensasi atas ketidakadilan sejarah yang mereka alami.
“Dua hal ini penting banget, karena bicara keadilan dan kemandirian masyarakat adat,” jelasnya.
Rancang Aksi Gila buat Guncang COP 30
Para peserta sepakat, mereka nggak mau cuma duduk di forum formal. Mereka akan bikin aksi besar yang “berisik tapi keren”.
“Rencananya, bakal ada fashion show dengan baju adat dari masing-masing wilayah. Visualnya bakal kuat banget, biar media nggak bisa cuek. Kami juga lagi nyiapin long march yang mengangkat isu lokal di Brazil,” ujar Momo antusias.
Bagi mereka, aksi kreatif adalah cara paling efektif untuk merebut perhatian publik dan memaksa pembuat kebijakan mendengar suara rakyat.
Bertemu Chief Raoni, Legenda Hidup Penjaga Amazon
Salah satu momen paling berkesan bagi Momo adalah ketika Chief Raoni Metuktire, pemimpin legendaris suku Kayapo, datang langsung ke lokasi pertemuan. Sosok ini dikenal dunia karena perjuangannya selama puluhan tahun menyelamatkan hutan Amazon dari eksploitasi.
“Begitu beliau datang, semua orang langsung hening. Rasanya kayak bertemu sejarah yang hidup,” kata Momo.
Desa Mupa, tempat pertemuan berlangsung, memang dikenal sebagai pusat konsolidasi gerakan masyarakat adat di Brazil. Bahkan cucu Chief Raoni kini ikut melanjutkan perjuangan sang kakek.
Tak cuma itu, ada juga kehadiran seorang shaman (dukun adat) yang membantu menjaga keseimbangan lahir batin peserta. Bagi mereka, perawatan spiritual adalah bagian dari perjuangan ekologis — karena menjaga alam juga berarti menjaga jiwa manusia.
Suara yang Menolak Diam
Bagi Momo, pengalaman di Amazon bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan batin. “Bayangin diskusi soal iklim sambil denger kicau burung dan gemericik sungai. Rasanya kayak diingatkan: ini, lho, yang sedang kita lindungi,” ujarnya.
Konsolidasi di Mato Grosso jadi pengingat bahwa perjuangan iklim bukan cuma soal angka emisi atau konferensi megah, tapi tentang tanah yang dipijak, hutan yang bernapas, dan suara generasi muda yang menolak menyerah.
“COP 30 nanti, kami akan membawa semangat ini — suara anak muda dari Asia dan Amerika Latin, bersatu untuk bumi,” tutup Momo penuh semangat.
Anda mungkin suka:Mengunjungi Pantai Goa Lawah Bali, Pantai Eksotis dengan Pasir Hitam




Posting Komentar